Jumat, 26 Januari 2018

Menjadi baik, tanpa menjelekkan yang lain

Menjadi Besar Tanpa Mengecilkan orang lain.

Seorang Guru membuat garis sepanjang 1 meter di papan tulis, lalu berkata :

"Anak-anak, coba perpendek garis ini!"

Anak pertama maju ke depan, ia menghapus 20 cm dari garis itu menjadi 80 cm. Pak Guru mempersilakan anak ke 2. Ia pun melakukan hal yang sama, sekarang garisnya tinggal 60 cm. Anak ke 3 dan ke 4 pun maju kedepan me lakukan hal yang sama, hingga garis itu tinggal 20 cm.

Terakhir, seorang anak yang bijak maju kedepan. Ia tidak mengurangi garis yang sudah tinggal 20 cm, namun membuat garis baru sepanjang 120 cm, lebih panjang dari garis yg pertama. Sang Guru menepuk bahunya,

"Kamu memang bijak, untuk membuat garis itu menjadi pendek, tak perlu menghapusnya, cukup membuat garis lain yg lebih panjang, maka garis pertama akan menjadi lebih pendek dgn sendirinya."

Untuk menjadi yang terbaik tak perlu menjatuhkan, menyingkirkan atau menjelekkan pihak lain. Cukup lakukan kebaikan yang lebih baik secara konsisten.

Biarkan waktu yang akan membuktikan kualitas kita."Permata akan tetap bersinar meskipun terpendam dalam lumpur yang gelap pekat."

"Majulah Tanpa Menyingkirkan, Naiklah Tinggi Tanpa Menjatuhkan, Jadilah Baik Tanpa Harus Menjelekkan dan Jadilah Benar Tanpa Harus Menyalahkan Orang Lain"

Mungkin cerita ini fiktif, tapi Kita bisa ambil pesan moralnya.

Salam buat semuanya. Selamat berkarya.

Jumat, 05 Januari 2018

PERKAWINAN BAIK

🚗🚗🚗🚗🚗🚗🚗🚗🚗🚗

*Dua Orang Baik,  tapi Mengapa Perkawinan nya Tidak Bahagia..?*
________________________

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang baik.

Setelah itu, masih harus memasak nasi untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan...

Setiap sore, ibu selalu menyikat panci supaya tidak ada noda sedikitpun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu.

Ibu adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan yang baik. Tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tidak memahaminya...

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu dan saat libur ayah punya waktu untuk mengantar kami ke sekolah. Ia seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran.

Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata anak-anak, ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibu, ia bukan pasangan yang baik. Kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam.

Saya melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Seharusnya mereka layak mendapat perkawinan yang baik. Saya bertanya pada diri sendiri, *"Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?"*

Setelah dewasa, akhirnya saya memasuki perkawinan dan perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu...

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dengan sungguh2 berusaha memelihara perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin rumah kurang bersih, masakan tidak enak, lalu dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah, suami saya berkata, "temani aku sejenak mendengar alunan musik!"

Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu. Saya sedang mempertunjuk kan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul...

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah yang tidak mendapat apa yang dia butuhkan dalam perkawinannya.

Waktu ibu habis untuk membersihkan rumah pada hal yg dibutuhkan ayah adalah menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan. Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih namun ibu jarang menemani ayah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya.

"KESADARAN MEMBUAT SAYA MEMBUAT KEPUTUSAN YANG SAMA".

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku, "Apa yang kau butuhkan?"

"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku... Rumah kotor sedikit tidak apa-apa.." ujar suamiku".

Saya kira dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasak, dst.

"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku".

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara yang diinginkan pasangan kita.

"Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja. Begitu juga suamiku, dia menderetkan sebuah daftar kebutuhanku".

Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas. Misal: Waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, ketempat ibadah bersama, saling memeluk setiap pagi, pergi ketempat sport bersama, memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat, dstnya.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit. Misal: "dengarkan aku, jangan memberi komentar". Ini adalah kebutuhan suami.

Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengan serius...

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami...

Bertanya pada pasangan kita,
"Apa yang kau inginkan?" ternyata dapat menghidupkan dan membahagia kan pernikahan".

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu tidak bisa bahagia, "MEREKA TERLALU BERSIKERAS  MENGGUNAKAN CARA SENDIRI DALAM MENCINTAI PASANGANNYA, BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN CARA YANG DIINGINKAN PASANGANNYA".

Kita mungkin sangat Hb lelah melayani pasangan kita, namun dia tidak menghargai... Akhirnya kita kecewa dan hancur.

"SETIAP ORANG PANTAS DAN LAYAK MEMILIKI SEBUAH PERKAWINAN YANG BAHAGIA".
asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kita. Semoga Allah memberkahi keluarga kita. Aamiin..
--------------------------------------
Disarikan ulang oleh
Taruna Quran Foundation